Akhirnya galeri jalanan itu berjalan.
Tidak ada yang hadir begitu saja. Semua butuh pemicu. Pemicu itu bernama Humba. Humba itu hamparan nilai-nilai yang berporos pada saling percaya. Sekumpulan kecil anak muda Humba di Jakarta mencoba mengimplementasikan nilai-nilai tersebut. Tidak sempurna memang tapi sungguh berarti sebagai sebuah momentum yang melahirkan inspirasi berikutnya. Saya yakin bila ini dipertahankan pada keadaan bersikap yang tidak tergoyahkan keadaan, maka akan lahir karya-karya berikutnya.
Sebuah pembelajaran tidak pernah lahir dari tubuh yang tidak berkeringat
Membuat kegiatan di Jakarta, susah-susah gampang. Tampak banyak susahnya tapi kalau dilakoni ada saja kemudahan. Saya selalu percaya, Selalu ada tangan tersembunyi yang menopang niat baik. Ditengah padatnya kesibukan kawan-kawan dengan penuh senyum memendam rasa lelah seminggu bekerja untuk mempersiapkan acara di hari Jumat dan Sabtu. Ada juga adik mahasiswa yang selalu setia membantu untuk beberapa urusan teknis pengadaan bahan. Ada juga teman yang sudi merelakan kain tenun dan kerajinan Humba dari Artshop-nya untuk dipertunjukkan dalam galeri. Sungguh belajar banyak tentang keswadayaan. Bahkan sempat merasa terlempar kembali ke Humba 1990-an ketika Aya Umbu Hunga Meha Tarap dan keluarga datang membawa Kue Cucur sebagai makan pengganjal perut saat jeda seusai berbincang dengan para pengunjung. Itulah gambaran inisiatif sejati ala Humba yang saya pernah alami di Sumba dahulu. Tanpa perlu meminta, yang memberi paham harus berkontribusi apa. Begitu juga Bapak, ibu dan teman asal Sumba saat melihat pengunjung yang sangat banyak membuat kewalahan panitia dan mereka mengambil bagian untuk menjelaskan.
Yang saya terjemahkan sendiri dalam pikiran saat melihat antusiasme mereka; sesibuk apapun kita, harus selalu ada waktu untuk berbuat untuk Humba. Bukan apa-apa, Ubi Kayu, Jagung, Beras, Sayuran, daging, air alias suplai alam Sumba berkontribusi besar pada siapa mereka hari ini.
Memahami dinamika pengunjung
Saya berani mempertanggungjawabkan bahwa pengunjung hari minggu itu lebih dari seribu orang. Banyak diantara mereka yang sedikit terhenyak kalau ternyata Sumba berbeda dengan Sumbawa. Mereka penasaran dan bertanya dengan lebih antusias. Ada juga yang sudah pernah ke Sumba. Mereka memuji alam dan karya kebudayaan Humba. Namun ada juga yang sedikit cemas dengan kondisi di Sumba. Salahsatunya seorang Bapak dari Kementerian Desa. Beliau menumpahkan sedikit kecemasannya tentang tata pemerintahan di Sumba hingga terjadinya penggerusan nilai-nilai budaya. Diakhir perbincangan, beliau menawarkan agar beberapa foto yang dipamerkan diberikan kepadanya untuk dipajang di kementerian desa. Ada juga yang bertanya tentang bagamana caranya untuk datang ke Sumba. Mulai dengan menanyakan transportasi hingga penginapan. Apapun dinamika dalam galeri jalanan di event Car Frre Day, yang terutama bagi kami bahwa target pengunjung bisa membedakan Sumba dan Sumbawa sudah tercapai. Ini bagian yang sudah kami kerjakan, bagian lain di tangan anda.
Berarti tidak harus mahal
Ada yang bertanya berapa biaya yang dihabiskan untuk kegiatan galeri ini. Satu juta limaratus ribu rupiah. Percaya tidak? Percayalah. Karena materi dari galeri ini tidak satupun kami beli. Saling percaya itu saja. Ada teman-teman yang mempercayakan foto hasil jepretannya di Sumba untuk dipamerkan secara gratis. Ada teman yang mempunyai Artshop meminjamkan barang-barangnya. Bahkan meminjamkan mobil pick up untuk mengangkut bahan-bahan galeri. Ada orang bukan asal Sumba yang mencintai kain tenun Sumba menyumbangkan air mineral. Ada teman ( bukan Orang Sumba juga) juga yang membantu untuk penyewaan standing photo. Keswadayaan memudahkan terjadinya kegiatan ini. Ada juga lembaga yang meminjamkan bingkai untuk foto.
Kalau anda mencintai kebaikan kebudayaanmu maka anda tidak perlu menunggu ada program dari pemerintah atau lembaga manapun untuk memperkenalkanya. Lakukan karena itu jatidiri kita bukan untuk dibilang unik atau puja puji.
Bukan Sumba Timur Hingga Sumba Barat Daya
Terlepas dari tingginya antusiasme pengunjung, acara ini memang masih jauh dari sempurna dalam hal materi galeri. Keterbatasan waktu membuat tidak semua hasil karya manusia Humba dari Timur hingga Barat dapat dipertunjukkan. Begitupun soal foto panorama alamnya. Inilah kekurangan yang menginspirasi untuk melakukan jauh lebih beragam kedepannya. ada teman yang bilang bahwa kerajianan dan panorama alam dari Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Barat Daya masih kurang. Kami selaku penyelenggara meminta maaf untuk kekurangan tersebut.
Namun kami hanya ingin memberitahukan tidak ada kebudayaan tradisioanal Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba tengah maupun Sumba Barat Daya. Itu nama kabupaten bukan identitas kebudayaan. Kami sebenarnya sudah maksimal untuk mencari materi galeri dari identitas kebudayaan bernama Humba. Yang terdiri dari Kodi, Weewewa, Loura, Loli, Anakalang, Wanokaka, Lakoka, Liawa, Kambiara, dan lain sebagainya. Namun sayangnya waktu dan keterbatasan lain makanya tidak semua dipertunjukkan.
Terimakasih Buat Keswadayaannya
Sebagai dinamisator penyelenggaraan galeri atas nama rekan muda mudi di Jakarta yang terlibat dalam kegiatan mengucapkan limpah terimakasih kepada,
1. Umbu Stevi Djarawula, Umbu Yushe Dunga, Umbu Simon Onggo, Umbu Yonatan Hani, Umbu Cristanto DS, Jend Layria, Umbu Maha, Umbu Oskar untuk sumbangan foto-fotonya. Terus berkarya kawan, karya kalian banyak diapresiasi positif oleh pengunjung
2. Bapak Umbu Hunga Meha Tarap, Bapak Umbu Marisi, Bapak Heri Pono beserta keluarga, Bapak Martinus Bobo Mila dan para pendekar ciliknya. Terimakasih buat keswadayaan dan inisitif membantu menjelaskan pada para pengunjung
3. Ibu Tety Sinuhaji, Bro Bejo Kurniawan, Yulia Nadya, Bro Vandi, Bro Ronald, walaupun kalian bukan orang Sumba tapi sangat membantu terselenggaranya kegiatan ini. Hhehehe. Kita Indonesia.
4. Kawan Zainudin dan Rambu Ata Art yang telah meminjamkan barang-barang untuk dipertunjukkan dalam galeri. Koleksinya membuat galeri ini menjadi sangat berwarna.
5. Lembaga JATAM buat peminjaman bingkai foto dan tempat untuk persiapan acara. Kita tetap berjuang Sumba tanpa tambang.
6. Pemprov DKI Jakarta yang telah memberi ruang untuk terselenggaranya acara ini. Terkhusus buat Bung Limbong, satpol PP yang memberi petunjuk di pagi-pagi buta.
7. Terimakasih juga buat semua teman-teman muda yang telah bersusah payah menyiapkan acara ini ditengah “sibuknya” Kota Jakarta.
Kiranya senantiasa terberkati dan mohon maaf bila dalam masa persiapan, penyelenggaraan hingga pasca kegiatan ada kata yang salah, ada tingkah laku yang tidak berkenan. Sudah dimulai dan belum berakhir untuk menginspirasi lagi. Salam Humba Humanis. SUMBA TANPA WA; SUMBA DI NTT, SUMBAWA DI NTB, KAMI BANGGA JADI HUMBA.
Tidak ada yang hadir begitu saja. Semua butuh pemicu. Pemicu itu bernama Humba. Humba itu hamparan nilai-nilai yang berporos pada saling percaya. Sekumpulan kecil anak muda Humba di Jakarta mencoba mengimplementasikan nilai-nilai tersebut. Tidak sempurna memang tapi sungguh berarti sebagai sebuah momentum yang melahirkan inspirasi berikutnya. Saya yakin bila ini dipertahankan pada keadaan bersikap yang tidak tergoyahkan keadaan, maka akan lahir karya-karya berikutnya.
Sebuah pembelajaran tidak pernah lahir dari tubuh yang tidak berkeringat
Membuat kegiatan di Jakarta, susah-susah gampang. Tampak banyak susahnya tapi kalau dilakoni ada saja kemudahan. Saya selalu percaya, Selalu ada tangan tersembunyi yang menopang niat baik. Ditengah padatnya kesibukan kawan-kawan dengan penuh senyum memendam rasa lelah seminggu bekerja untuk mempersiapkan acara di hari Jumat dan Sabtu. Ada juga adik mahasiswa yang selalu setia membantu untuk beberapa urusan teknis pengadaan bahan. Ada juga teman yang sudi merelakan kain tenun dan kerajinan Humba dari Artshop-nya untuk dipertunjukkan dalam galeri. Sungguh belajar banyak tentang keswadayaan. Bahkan sempat merasa terlempar kembali ke Humba 1990-an ketika Aya Umbu Hunga Meha Tarap dan keluarga datang membawa Kue Cucur sebagai makan pengganjal perut saat jeda seusai berbincang dengan para pengunjung. Itulah gambaran inisiatif sejati ala Humba yang saya pernah alami di Sumba dahulu. Tanpa perlu meminta, yang memberi paham harus berkontribusi apa. Begitu juga Bapak, ibu dan teman asal Sumba saat melihat pengunjung yang sangat banyak membuat kewalahan panitia dan mereka mengambil bagian untuk menjelaskan.
Yang saya terjemahkan sendiri dalam pikiran saat melihat antusiasme mereka; sesibuk apapun kita, harus selalu ada waktu untuk berbuat untuk Humba. Bukan apa-apa, Ubi Kayu, Jagung, Beras, Sayuran, daging, air alias suplai alam Sumba berkontribusi besar pada siapa mereka hari ini.
Memahami dinamika pengunjung
Saya berani mempertanggungjawabkan bahwa pengunjung hari minggu itu lebih dari seribu orang. Banyak diantara mereka yang sedikit terhenyak kalau ternyata Sumba berbeda dengan Sumbawa. Mereka penasaran dan bertanya dengan lebih antusias. Ada juga yang sudah pernah ke Sumba. Mereka memuji alam dan karya kebudayaan Humba. Namun ada juga yang sedikit cemas dengan kondisi di Sumba. Salahsatunya seorang Bapak dari Kementerian Desa. Beliau menumpahkan sedikit kecemasannya tentang tata pemerintahan di Sumba hingga terjadinya penggerusan nilai-nilai budaya. Diakhir perbincangan, beliau menawarkan agar beberapa foto yang dipamerkan diberikan kepadanya untuk dipajang di kementerian desa. Ada juga yang bertanya tentang bagamana caranya untuk datang ke Sumba. Mulai dengan menanyakan transportasi hingga penginapan. Apapun dinamika dalam galeri jalanan di event Car Frre Day, yang terutama bagi kami bahwa target pengunjung bisa membedakan Sumba dan Sumbawa sudah tercapai. Ini bagian yang sudah kami kerjakan, bagian lain di tangan anda.
Berarti tidak harus mahal
Ada yang bertanya berapa biaya yang dihabiskan untuk kegiatan galeri ini. Satu juta limaratus ribu rupiah. Percaya tidak? Percayalah. Karena materi dari galeri ini tidak satupun kami beli. Saling percaya itu saja. Ada teman-teman yang mempercayakan foto hasil jepretannya di Sumba untuk dipamerkan secara gratis. Ada teman yang mempunyai Artshop meminjamkan barang-barangnya. Bahkan meminjamkan mobil pick up untuk mengangkut bahan-bahan galeri. Ada orang bukan asal Sumba yang mencintai kain tenun Sumba menyumbangkan air mineral. Ada teman ( bukan Orang Sumba juga) juga yang membantu untuk penyewaan standing photo. Keswadayaan memudahkan terjadinya kegiatan ini. Ada juga lembaga yang meminjamkan bingkai untuk foto.
Kalau anda mencintai kebaikan kebudayaanmu maka anda tidak perlu menunggu ada program dari pemerintah atau lembaga manapun untuk memperkenalkanya. Lakukan karena itu jatidiri kita bukan untuk dibilang unik atau puja puji.
Bukan Sumba Timur Hingga Sumba Barat Daya
Terlepas dari tingginya antusiasme pengunjung, acara ini memang masih jauh dari sempurna dalam hal materi galeri. Keterbatasan waktu membuat tidak semua hasil karya manusia Humba dari Timur hingga Barat dapat dipertunjukkan. Begitupun soal foto panorama alamnya. Inilah kekurangan yang menginspirasi untuk melakukan jauh lebih beragam kedepannya. ada teman yang bilang bahwa kerajianan dan panorama alam dari Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Barat Daya masih kurang. Kami selaku penyelenggara meminta maaf untuk kekurangan tersebut.
Namun kami hanya ingin memberitahukan tidak ada kebudayaan tradisioanal Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba tengah maupun Sumba Barat Daya. Itu nama kabupaten bukan identitas kebudayaan. Kami sebenarnya sudah maksimal untuk mencari materi galeri dari identitas kebudayaan bernama Humba. Yang terdiri dari Kodi, Weewewa, Loura, Loli, Anakalang, Wanokaka, Lakoka, Liawa, Kambiara, dan lain sebagainya. Namun sayangnya waktu dan keterbatasan lain makanya tidak semua dipertunjukkan.
Terimakasih Buat Keswadayaannya
Sebagai dinamisator penyelenggaraan galeri atas nama rekan muda mudi di Jakarta yang terlibat dalam kegiatan mengucapkan limpah terimakasih kepada,
1. Umbu Stevi Djarawula, Umbu Yushe Dunga, Umbu Simon Onggo, Umbu Yonatan Hani, Umbu Cristanto DS, Jend Layria, Umbu Maha, Umbu Oskar untuk sumbangan foto-fotonya. Terus berkarya kawan, karya kalian banyak diapresiasi positif oleh pengunjung
2. Bapak Umbu Hunga Meha Tarap, Bapak Umbu Marisi, Bapak Heri Pono beserta keluarga, Bapak Martinus Bobo Mila dan para pendekar ciliknya. Terimakasih buat keswadayaan dan inisitif membantu menjelaskan pada para pengunjung
3. Ibu Tety Sinuhaji, Bro Bejo Kurniawan, Yulia Nadya, Bro Vandi, Bro Ronald, walaupun kalian bukan orang Sumba tapi sangat membantu terselenggaranya kegiatan ini. Hhehehe. Kita Indonesia.
4. Kawan Zainudin dan Rambu Ata Art yang telah meminjamkan barang-barang untuk dipertunjukkan dalam galeri. Koleksinya membuat galeri ini menjadi sangat berwarna.
5. Lembaga JATAM buat peminjaman bingkai foto dan tempat untuk persiapan acara. Kita tetap berjuang Sumba tanpa tambang.
6. Pemprov DKI Jakarta yang telah memberi ruang untuk terselenggaranya acara ini. Terkhusus buat Bung Limbong, satpol PP yang memberi petunjuk di pagi-pagi buta.
7. Terimakasih juga buat semua teman-teman muda yang telah bersusah payah menyiapkan acara ini ditengah “sibuknya” Kota Jakarta.
Kiranya senantiasa terberkati dan mohon maaf bila dalam masa persiapan, penyelenggaraan hingga pasca kegiatan ada kata yang salah, ada tingkah laku yang tidak berkenan. Sudah dimulai dan belum berakhir untuk menginspirasi lagi. Salam Humba Humanis. SUMBA TANPA WA; SUMBA DI NTT, SUMBAWA DI NTB, KAMI BANGGA JADI HUMBA.
Kontributor:
Umbu Wulang
Umbu Wulang